fff

Jumat, 10 Juni 2016


SD TARBIYATUL ISLAM KERTOSARI BABADAN PONOROGO
MENERIMA PESERTA DIDIK BARU TAHUN PELAJARAN 2016/2017
MULAI SEKARANG SAMPAI 29 JUNI 2016
SEGERA DAFTAR, GRATISSSS !!!! 

Kamis, 21 April 2016

SEJARAH HARI BUMI

 Menurut Prof. Emil Salim, Gagasan Hari Bumi muncul ketika seorang senator Amerika Serikat, Gaylorfd Nelson menyaksikan betapa kotor dan cemarnya bumi oleh ulah manusia, maka ia mengambil prakarsa bersama dengan LSM untuk mencurahkan satu hari bagi ikhtiar penyelamatan bumi dari kerusakan.



Pada tanggal 22 April 1970 Gaylord Nelson memproklamasikan Hari Bumi (Earth Day), sehingga pada tanggal tersebut diperingati sebagai Hari Bumi (Earth Day). Di Indonesia peringatan Hari Bumi tidak begitu banyak diketahui oleh masyarakat bila dibandingkan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni.

Bumi adalah bagian dari lingkungan hidup. Dengan demikian antara Hari Bumi dan Hari Lingkungan tak ada perbedaan prinsipal. Hanya sejarah kelahirannya yang berbeda. Hari Bumi diprakarsai oleh masyarakat dan diperingati terutama oleh LSM maupun organisasi yang berorientasi kepada pelestarian lingkungan hidup. Sedangkan Konferensi PBB tentang Lingkungan hidup yang telah diselenggarakan pada 5 Juni 1972 di Stockholm, menetapkan tanggal konferensi ini sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yang mana Prof. Emil Salim sebagai Kepala Bappenas waktu itu hadir. Hari Lingkungan Hidup Sedunia bersifat lebih resmi dan diperingati oleh masyarakat dan pemerintah di seluruh dunia. Tujuan kedua peringatan hari tsb. adalah sama yaitu untuk menggugah kepedulian manusia dan masyarakat pada lingkungan hidup yang cenderung semakin rusak.

Kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan dalam rangka Peringatan Hari Bumi: Gotong royong membersihkan pantai dari sampah-sampah sambil melakukan penyuluhan/kampanye kebersihan lingkungan kepada para nelayan dan keluarganya; membersihkan sungai dan tepiannya dari sampah-sampah yang melibatkan anak-anak sekolah dan masyarakat. Membagikan potongan drum atau tempah sampah kepada para keluarga yang kurang mampu, sehingga tidak membuang sampah sembarangan. Menanam pohon penghijauan di lahan-lahan kosong di pinggir jalan atau di tepian sungai atau di pinggir-pinggir taman. Dan kegiatan-kegiatan lain yang ada hubungannya dengan pengelolaan lingkungan hidup. 

Mari Kita Jaga Alam Kita.
Mari Kita Jaga Lingkungan Kita
Mari Kita Jaga Bumi Kita
Untuk Mereka Anak Cucu Kita

#Earth_Day
#SD_Tarbiyatul_Islam_Kertosari

Rabu, 20 April 2016

Sejarah Kartini


Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Beliau putri R.M. Sosroningrat dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Kala itu poligami adalah suatu hal yang biasa. Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.
Add caption

Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.

Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka. Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.